hidup ini secerah matahari pagi dan semendung hujan

16.9.08

tanyakan pada mimpi


Bukankah impian harus selalu mengkompromikan langkah-langkah yang akan diambil untuk merealisasikannya dengan apa yang disebut kolektifitas?

Objektifisme personal menjadi salah satu bahan baku yang terabaikan saat kita menginginkan perubahan untuk segera didatangkan, segala kehendak dan idealisme mati dan melayu dikala tumbukan keras pada realita dunia tidak terhindari.

Apa kini yang tersisa disela masa-masa transformasi yang semakin larut dalam mimpi-mimpi utopis? Harapan sendiri menjadi sangat eksklusif ditengah massa yang kerap bersikap apatis. Apa juga idealisme terdapat dilangit ketujuh dan terlalu jauh untuk ditempuh bangsa yang memang sudah kepalang rapuh ini? Dimana lagi kita akan taruh apa yang tepat bagi manusia untuk tetap kita bina, kenang dan pertahankan?

Realita inikah yang menempatkan satu individu dengan individu yang lain agar tetap bersiteru, bersitegang? Pertarungan berbagai kepentingan untuk diselaraskan dengan kesatuan bangsa yang terdiri dari jutaan individu berbeda.

Sebenarnya, apa yang menjadi sumbu untuk tetap berseteru antar sesama individu manusia yang kolektif? Individu-individu yang terus berkembang secara instingtif dan intuitif menuju kebersamaan kolektif, yang dibina oleh rasa akan kepentingan bersamam mimpikah? Pertarungan kepentingan siapa yang membuat kesenjangan semakin lama, semakin melebar? sedangkan kita berada dalam satu perahu dan menuju tujuan yang itu juga.

Dimanakah kita sekarang berada? Masihkah harapan menhampiri kita? dengan berjuta mimpi akan keadaan yang lebih manusiawi, kita melihat hak-hak manusia yang terisolasi atas nama ‘realitas. Hak akan kehidupan yang layak, yang sepantasnya terisikan pada setiap individu bangsa dan, yang adalah dengan sangat hormat harus diperhatikan sebagai apa yang wajib Negara berikan. Ada apa dengan Negara ini yang telah menyia-nyiakan beratus ribu tenaga kerja manusianya, menyia-nyiakan ratus ribu juga yang mereka sebut bibit-bibit unggul tunas bangsa karena terpaksa di drop-out oleh sekolahnya karena tak mampu membayar SPP? Apa karena terlalu biasa, hingga saat kita melihat apa yang salah disekitar kita pun pada akhirnya hanya memperoleh lenguhan kesal akan nasib yang tak bisa dihindari lagi?

Apa hanya karena BIASA apa yang SALAH dapat kita anggap BENAR dan tak lagi kita coba untuk menentangnya……HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!!!!!

No comments:

Post a Comment

u'r mind r ?