hidup ini secerah matahari pagi dan semendung hujan

17.9.08

ब्लाजर अज तेरुस्स्स, संपे नन्ती, संपे ...

0 komentar
Mempelajari hikmat hikmah.
Sambil me-reka-reka makna diantara tumpukan kata.
Mengetahui,membumbui waktu yang terbaru.
Mencari arti, apa semua hanya berkesimpulan ke “Mungkin”an?

Apa “Mungkin” semua bersama meronta, bersama senang, gembira ataupun duka?

Tinggikan rendahkan kerendahan.
Rendahkan tinggikan kerendahan.
Andaiku tau semua ternyata sama…
Adakah tinggi tanpa kerendahan?????
Rendahkah tinggi tanpa kerendahan???
Terpisahkan dari belakang bara,
Rasa, nyata, namun, semu, hambar.
Diamkan gemulai tari lilin itu barang sekejap!

Pernahkah kau diam!?
Api berwarna merah jambu, biru unggu, dan sialannya, tak juga ia diam,
Hanya memberi panas, kasatmata namun tidak juga kasatrasa,
Hanya jiwa terluka.
Mengetahui mencari sesuatu hari ini seperti kemarin hari juga nanti
Mencari arti, mempelajari hikmathikmah setiap masalah

Sambil membumbui hari, mencari arti “Pasti”
Tanpa ke-Pasti-an, adakah yang berarti?
Hanya kita bisa mempelajari, namun
Enggan dengan bungkam mengkunci Satu Inti dalam jalan ദിരി.

Kita terlalu bodoh untuk kau Bilang binatang
Dan computer kita selalu pintar,
Manusia, apa yang kalian cari, tahukah
Karena mungkin ternyata kalian lari semakin menjauhinya

16.9.08

hargebas

0 komentar

Harga bebas

Kehidupan ini memberi sekian banyak pilihan untuk kita ambil dan kebebasan ternyata tidak dapat menjadi suatu pilihan daripadanya, karena saat kita memilih untuk menjadi bebas, maka kebebasan itu akan mengekang kita, kita akan menutup semua pintu yang mengarah pada yang membuat kita merasa tidak bebas. Memang, bagaimana pun juga, kita, manusia, tetap membutuhkan makan dan minum, berpikir, berbicara, dan seabreg kebutuhan lainnya, dan semua itu tetap mengekang kita secara langsung maupun tidak langsung. Jadi secara individual pun manusia tidak pernah menjadi makhluk yang bebas, selain, mungkin, untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Seperti disaat kebebasan berpikir membuat kita kita merasa bebas untuk tidak makan, naluri semua manusia mengetahui konsekuensi apa yang akan dihadapkan terhadap pilihan tersebut, dan mati tidak dapat kita sebut sebagai pilihan, kebebasan untuk mejalani hidup memiliki konsekuensi yang pasti akan apa yang dihadapinya nanti, namun, pilihan untuk mati sama sekali tidak memiliki konsekuensi yang berkaitan dengan pilihan seorang individu.

Disaat berhadapan dengan masyarakat pun adalah halnya sama juga, bagaimana pun jelas kita mencoba menjelaskan atau menerangkan atau berbicara tentang satu hal atau hal lain, kita akan kembali pada kenyataan bahwa mereka jugalah yang berhak untuk menentukan penilaian, percaya atau tidak, benar atau salah, setuju atau tidak setuju, sama atau beda. Intepretasi hanya bergerak bebas dialam pikiran setiap individu, hanya saja, intepretasi selalu berhadapan langsung dengan individu lain, sehingga intepretasi harus ditanggapi dengan sangat hati-hati, kita berbicara soal konflik yang tak kunjung usai jika kita menanggapi intepretasi masyarakat tak pernah sesuai dengan apa yang suatu subjek lakukan atau sampaikan. Masyarakat memang selalu menjadi objek dari suatu kebebasan, karena masyarakat sendiri tak pernah memiliki kebebasan. Karena, bahkan masyarakat pun terbentuk atas kebebasan itu sendiri. Namun individu bukan hanya satu atau dua saja, masyarakat sendiri terbentuk dari suatu individu kolektif, individu yang masing-masing menjadi subjek atas pilihan akan kebebasan sebagai seorang manusia. hanya saja kebebasan bagi satu individu tidak selalu menjadi kebebasan bagi individu yang lain. Dan kita kembali pada suatu intepretasi massa yang menjadi pemicu kebanyakan konflik sosial.

Dan suatu saat yang pasti terus terulang kembali adalah konsekuensi budaya yang telah tercipta melewati suatu rentang waktu yang tidak pendek, yang setelah menembus sekian banyak konflik, manusia, dalam persamaan-persamaannya sebagai individu, persamaan akan nilai kebebasan, keyakinan, kebenaran dan kesetujuan kolektif akan berhadapan kembali pada individu-individu baru, yang tentunya, dengan beragam perbedaan konteks ruang dan waktu, kembali menciptakan nilai-nilai serta batasan-batasan atas apa yang menjadi pilihan untuk menjadi manusia yang bebas, manusia yang terus membentuk suatu karakteristik masal, untuk dikaji kembali, nilai-nilai apa saja yang masih relevan dengan konteks ruang dan waktu maupun nilai yang sudah mulai usang dan tidak terpakai. Budaya tidak boleh bersifat statis apabila budaya itu memang merupakan hasil dari consensus yang dilandasi kebebasan memilih dari individu-individu kolektif yang bersinergis kedalam suatu konteks kemasyarakatan. Budaya harus terus memberikan ruangnya pada kebebasan yang sebenarnya tidak pernah ada untuk dipilih, untuk memberikan sedikit saja makna dalam kehampaan jiwa manusia yang terus terkekang, baik sebagai individu personal, maupun individu kolektif. Nilai-nilai masyarakat tetap merupakan objek, tetap merupakan suatu hasil yang rapuh, karena penuh dengan konflik, agaknya nilai statis dari budaya hanya akan menambah konflik dalam tubuh masyarakat yang memang tak pernah usai. Kebebasan kita memang tidak pernah menjadi nyata, sebagai individu atau pun sebagai bagian dari masyarakat, akan tetapi, manusia harus terus berkembang disaat kita terus mencoba untuk mendobrak apa yang mengekang kita, yang mengecilkan kita, yang mempersempit jarak pandang kita. Pilihan kita untuk mejadi bebas memang sudah basi adanya, namun kebebasan kita untuk memilih apa yang perlu, apa yang tidak perlu dalam menjalani kehidupan kita sendiri, jangan sampai terpasung oleh nilai, norma, adat dan budaya, biarkan nilai itu terus bergerak maju seiring waktu dan kemampuan kita untuk mereintepretsikan kebebasan manusia.

Sedari dulu kita mengenal kebebasan sebagai salah satu kodrat kita sebagai umat manusia, sedari dulu juga kita menggunakan kebebasan kita dalam memilih. Kebebasan, tak pernah lepas dari tekanan atau paksaan yang menjadikannya begitu berharga untuk dimiliki, seperti dikala ujian sekolah kita telah usai, ingatkah kalian, betapa kita merasa bebas sesudahnya. Mungkin, kebebasan selalu terasa menyenangkan setelah tekanan dan paksaan telah terlewati.

Disaat kita tidak lagi bebas untuk menentukan pilihan kita, dan kita tidak dapat berbuat apapun untuk melawannya. Disaat kita tau bahwa saat kita memaksakan kebebasan itu,kita akan memecahkan sesuatu, dan bukan hanya kita yang tak ingin hal itu terjadi, namun semua yang ada disekitar kita menuntut kita untuk mengorbankan salah satu kebebasan kita dalam memilih, agar tidak pecah dan menjadi sampah, agar tidak hancur dan tetap dapat digunakan,Masa depan cerah yang tetap utuh karena kita telah bersedia mengorbankan kebebasan kita mati ditangan tekanan hidup kita sendiri dan masyarakat.

Kebebasan kita bukan hal yang murah, yang bisa kita dapat hanya dengan meminta, membeli, kebebasan bukan kacang goreng yang di jual diemperan pasar. Kebebasan layaknya sebuah intan atau mas yang dikitari berlian disekelilingnya, sangatlah mahal harganya, sehingga kebebasan hanya bisa dimiliki oleh para konglomerat saja. Tak ada kata bebas untuk siapa yang tidak berusaha untuk membelinya. Kebebasan hanya untuk diperjuangkan. Kebebasan menuntut pengorbanan, seperti yang sudah dilakukan oleh para pahlawan kita yang telah membeli kebebasan dengan jiwa dan raganya sendiri.

tanyakan pada mimpi

0 komentar

Bukankah impian harus selalu mengkompromikan langkah-langkah yang akan diambil untuk merealisasikannya dengan apa yang disebut kolektifitas?

Objektifisme personal menjadi salah satu bahan baku yang terabaikan saat kita menginginkan perubahan untuk segera didatangkan, segala kehendak dan idealisme mati dan melayu dikala tumbukan keras pada realita dunia tidak terhindari.

Apa kini yang tersisa disela masa-masa transformasi yang semakin larut dalam mimpi-mimpi utopis? Harapan sendiri menjadi sangat eksklusif ditengah massa yang kerap bersikap apatis. Apa juga idealisme terdapat dilangit ketujuh dan terlalu jauh untuk ditempuh bangsa yang memang sudah kepalang rapuh ini? Dimana lagi kita akan taruh apa yang tepat bagi manusia untuk tetap kita bina, kenang dan pertahankan?

Realita inikah yang menempatkan satu individu dengan individu yang lain agar tetap bersiteru, bersitegang? Pertarungan berbagai kepentingan untuk diselaraskan dengan kesatuan bangsa yang terdiri dari jutaan individu berbeda.

Sebenarnya, apa yang menjadi sumbu untuk tetap berseteru antar sesama individu manusia yang kolektif? Individu-individu yang terus berkembang secara instingtif dan intuitif menuju kebersamaan kolektif, yang dibina oleh rasa akan kepentingan bersamam mimpikah? Pertarungan kepentingan siapa yang membuat kesenjangan semakin lama, semakin melebar? sedangkan kita berada dalam satu perahu dan menuju tujuan yang itu juga.

Dimanakah kita sekarang berada? Masihkah harapan menhampiri kita? dengan berjuta mimpi akan keadaan yang lebih manusiawi, kita melihat hak-hak manusia yang terisolasi atas nama ‘realitas. Hak akan kehidupan yang layak, yang sepantasnya terisikan pada setiap individu bangsa dan, yang adalah dengan sangat hormat harus diperhatikan sebagai apa yang wajib Negara berikan. Ada apa dengan Negara ini yang telah menyia-nyiakan beratus ribu tenaga kerja manusianya, menyia-nyiakan ratus ribu juga yang mereka sebut bibit-bibit unggul tunas bangsa karena terpaksa di drop-out oleh sekolahnya karena tak mampu membayar SPP? Apa karena terlalu biasa, hingga saat kita melihat apa yang salah disekitar kita pun pada akhirnya hanya memperoleh lenguhan kesal akan nasib yang tak bisa dihindari lagi?

Apa hanya karena BIASA apa yang SALAH dapat kita anggap BENAR dan tak lagi kita coba untuk menentangnya……HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!!!!!