hidup ini secerah matahari pagi dan semendung hujan

7.9.08

EduSysKillNation

“Lingkaran setan” sistim pendidikan di Indonesia

Anak seorang kuli bangunan hanya akan berputar dalam nasibnya sebagai generasi keturunan seorang kuli, menjadi kuli kembali seperti telah sedemikian rupa sehingga jembatan yang harusnya dilalui untuk mendapatkan kesejahteraan dari pekerjaan yang layak tak kunjung rampung dibentangkan pemerintah.

Manusia Indonesia menjadi masyarakat aktif yang terperangkap tanah yang mana ia tinggali sejaknya hadir di dunia ini

“Lingkaran setan”, yang penulis bentangkan sebagai awalan judul, mengapa ungkapan tersebut terkesan melecehkan, pendidikan adalah hal yang dimuliakan setiap insan manusia kapanpun dan dimanapun manusia berada. Bila sistim pendidikan kita telah menjadi suatu sistim “lingkaran setan”, bagaimana dengan sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistim tersebut? Kesalahan apa yang singgah di sistim pendidikan Negara kita, sampai dengan sangat lancang saya menyebutnya sebagai “Lingkaran setan”.

Seperti kita ketahui sejak TK-Taman Kanak-Kanak, tempat pertama kita belajar menggambar lingkaran- lingkaran menunjukan suatu arah pergerakan pada jalur yang tetap untuk kembali ketempat semula- sistim pendidikan di Indonesia dapat kita analogikan seperti halnya sebuah lingkaran, berputar di tempat yang sudah dibuat jalurnya oleh siapa yang membuat lingkaran itu. “setan”, adalah kata paling tepat yang bisa saya ambil untuk menganalogikan hal buruk yang terjadi, sehingga kebenaran menjadi semu dalam dosa, dan ternyata semua dibiarkan terulang kembali, hal salah yang terus diperbenarkan sehingga apa yang salah menjadi biasa, dan hal yang biasa tidaklah salah kala kebenaran dibakukan oleh siapa yang ber-Hak untuk menjadikannya biasa, apakah itu benar atau salah. Dalam hal ini siapa itu akan saya kaitkan dengan Pemerintahan yang berwenang, Departemen Pendidikan, Instansi-instansi yang terkait dalam dunia pendidikan, dan mereka, yang terus melestarikan sistim yang menurut saya sendiri sangat pantas dianalogikan seumpamanya “setan”. Makin kesal karena kelancangan bahasa yang saya pakai? Mari kita lihat bagaimana lingkaran dalam sistim pendidikan di Indonesia terus berputar di sumbu yang sama, sedangkan bangsa kita sudah sangat mengharapkan lingkaran tersebut untuk bergerak secara spiral, lingkaran yang memang melingkar namun bergerak maju, mengarahkan jalannya pada keadaan idealnya.

Kungkungan nasib

Pernahkah anda membayang, terjebak dalam posisi dimana anda tidak dapat bergerak sama sekali, kekanan maupun kekiri, keatas pun ke bawah, ke depan juga ke belakang. Sistim pendidikan kita dapat diibaratkan tembok besar pembatas kesejahteraan bersama, tinggi dan tebal, tak lagi terjangkau oleh masyarakat marginal yang ternyata merupakan mayoritas dari penduduk di Indonesia. Sebagai contoh, di jawa barat, sebanyak 182.432 anak usia sekolah dari golongan keluarga kurang mampu, atau sekitar 83,96 persennya dari anak–anak usia 7-15 tahun ternyata tidak dan belum mampu menempuh pendidikan sekolah(“PR”, sabtu (26/3)), di Kab. Garut saja lebih dari 90.000 siswa dari tingkat SD, SMP, dan SLTA, terancam tidak dapat meneruskan pendidikannya dikarenakan alasan ekonomi(“PR”, senin (28/3)), ya, ekonomi memang tak terbantahkan, tembok besar sistim pendidikan di Indonesia ini memang dibangun dari semen yang bernama Financial support.

Standar kehidupan bangsa

kenyataan jauh berada diatas khayalan jika kita berbicara uang sebagai factor utama, lebih baik kita kembali menuju masalah paling klise dalam kehidupan Negara yang sedang berkembang, perut. Bagaimana bisa menjadikan pendidikan sebagai prioritas hidup masyarakat dalam menghindari kemiskinan dan kemelaratan, dikala perut terus merongrong dan rasa lapar mengabaikan logika hidup bermasyarakat, jangankan pri-kemanusiaan, untuk tidak menjadi pencuri dengan sebilah pisau ditangan dan perut yang terhimpit nadi menahan lapar yang mencekik usus dan lambung saat menemui kesempatan untuk merampok adalah sulit, sesulit menjalanin hidup itu sendiri. jelas sekali, keseimbangan antara income dan ekspenditure tidak pernah menemui titik equilibrium-nya, sembako dan seabrek masalah lainnya berada ditengah masyarakat yang mulai mencoba menerima akan tertindasnya hak-hak mereka oleh para oknum aparat yang memang keparat. Masyarakat menjadi apatis, sesuai dengan harapan birokratisasi, sebagai sistim penuh korupsi dan anti-kompromi namun cepat berganti kulit kala demo massa menghalangi kekuasaannya. Oknum pejabat yang hobinya menyunat anggaran saat sampai di meja kantor mereka.

Ekonomi kita semrawut, kesenjangan terus menjauhi kondisi social yang ideal dari tatanan masyarakat demokrasi. Rakyat diyakini lebih mengetahui harga sembako terbaru daripada mengetahui kebijakan politik terbaru. Apalagi untuk bersusah-payah mendemo pemerintah untuk mengambil tindakan dalam pengentasan kemiskinan, pembodohan, dan berbagai macam masalah bangsa lainnya. Strukturisasi kerakyatan oleh pemerintah birokrat seakan-akan mengiring kita semakin apatis dari kenyataan bahwa sesuatu dalam tubuh bangsa ini sedang kronis, sehingga kehancuran menyeluruh nampak menjadi solusi terakhir untuk bangkit kembali. Akan tetapi, walau kehancuran seperti apapun melanda kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, kerusakan pada pendidikan bukan hal yang bisa ditoleransikan, bahkan oleh bangsa se-toleran bangsa Indonesia, pendidikan sekarang seharusnya dapat menjadi batu loncatan menuju suatu masyarakat demokratis yang aktif dan partisipatif dalam membangun bangsa di masa yang akan datang, futurechild, dimana globalisasi dan kerajaan imperialis adalah nyata dan mutlak. sehingga hanya kesadaran pada setiap individu berkualitas yang terbentuk oleh pendidikan, yang dapat menyaring baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu peradaban untuk dijalani hidup ini.

Data menunjukkan sekitar 144.239 anak usia sekolah yang masih berminat untuk melanjutkan sekolahnya di jawa barat tidak mampu menyelesaikan pendidikan wajarnya( Wajib Belajar)- program yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak orde baru, yaitu pendidikan wajib selama 9 tahun, atau SD dan SMP-, Program beasiswa yang ikut menjadi bagian dalam pemberantasan kemiskinan dan pembodohan tidak berjalan efektif, dan akhirnya hanya menjadi bahan korupsi, kolusi dan nepotisme bagi orang-orang yang mempunyai kekuasaan dari padanya. Pendidikan diperuntukan hanya untuk orang kaya, yang mampu untuk membiayai anak-anaknya bersekolah.

Kesenjangan social (social bond) akan kita lihat setiap harinya mungkin untuk beberapa tahun lagi kedepan, karena Pendidikan, sebagai kayu pendobrak tembok kesenjangan social, terisolasi oleh sistim yang beraffiliasi dengan kepentingan kaum priyayi, borjuisasi capitalis local, saat menentukan berapa besar biaya untuk bersekolah dan prasyarat dalam menentukan juga tingkat pekerjaan, baik pekerjaan di instansi negri taupun swasta. Bagaimana cara agar anak seorang kuli bangunan dapat menjadi seorang dokter umum, baik di sekolah negri maupun swasta, biaya masuk sekolah kedokteran amatlah besar, mereka tidak akan mampu membiayainya! Mungkin hanya anak seorang dokter atau anak pejabat atau “ningrat” yang mampu. Anak seorang buruh hanya akan akan menjadi seorang buruh masa depan, itu kenyataan, dan seorang buruh sudah terlalu banyak memiliki masalah tersendiri untuk dipikirkan, selain hanya bermimpi di siang bolong kala istirahat kerja menyapa angan tentang anaknya yang sedang diwisuda di salah satu universitas favorit di kota favoritnya. Lingkaran setan sistim pendidikan indonesia telah mengebiri setiap mimpi-mimpinya, membawa pergi angan, lalu meninggalkan kehampaan bersamanya.

Baiklah, kita telah menelaah bersama bagaimana kekuatan financial di sisi yang kiri terus menerus membatasi pergerakan kelas sosial masyarakat di tingkat bawah. Sekarang, mari kita melihat sisi lain dari financing sentralisasi pendidikan, yang berbuntut panjang-pendidikan mencetak sumber daya manusia Indonesia di generasi yang akan datang-, bertanduk dua, sambil membawa garpu tala ditangan kanannya.

Jaminan pendidikan

Pendidikan tingkat tinggi, dalam hal ini, SMA, baik kejuruan, keterampilan, keguruan, dan lainnya, terorientasi di kota. Orang desa dan kaum miskin kota, bagi mereka, sekolah dapat diibarat tangga berjalan di mal-mal kota, tangga yang akan membawa generasi penerus mereka naik ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi, mungkin disini jugalah tempat salah satu sumber kesenjangan bertahan dan atau memang dipertahankan, bagaimana mereka, dapat diperbolehkan sang Satpam untuk masuk ke mal, sedang alas kaki yang mereka pakai hanyalah sepasang sandal jepit. Mereka bukan tidak mau memakai sepatu, mereka tidak mampu membelinya!

Biaya sekolah mahal, belum lagi SPP setiap bulan-nya, juga baju seragam, buku sekolah, ongkos naik angkutan ke sekolah, dan segala macam persyaratan financial lainnya yang akan mereka tanggung kemudian. Di kota itu, Urbanisasi tidak terbendung dari masyarakat pedalaman yang mencoba menaikan status keluarganya lewat jalur pendidikan yang diharapkan masih dapat dibiayainya, angka penganguran terus meningkat, seiring persyaratan yang tertoreh pada suatu iklan lowongan kerja di suatu surat kabar harian, lowongan tersebut hanya mempertimbangkan lamaran dari lulusan Pergururan tinggi tertentu-tentunya perguruan tinggi dengan nilai akreditasi yang tinggi pula-. kriminalitas pun menjadi jalan keluar yang paling diminati tuk menimba ilmu- mungkin, di dalam penjara-.

Perguruan tinggi adalah sama halnya, semakin bagus kualitas dari Perguruan Tinggi tertentu, semakin tak terjangkau-lah biaya yang harus dikeluarkan seorang siswa untuk bersekolah ditempat tersebut, selain biaya SPP dan atribut lain yang harus dibeli, biaya kost-kostan dan uang saku bulanan mereka hanya terjangkau setelah beberapa hektar sawah dan atau ladang tempat orang tua mereka bercocok tanam harus tergadaikan pada para makelar tanah dari kota yang telah bersiap menyulap lahan tersebut menjadi lapangan golf, resort, villa, dll. Dampaknya, masyarakat yang sudah bersusah payah, banting tulang, jual sawah, patah-patah, untuk menyekolahkan anaknya, kembali terdampar tak berdaya dikala waktu membawa mereka melihat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Hanya beberapa anak mungkin dapat terselamatkan, tetapi, dari sini kita akan mulai melihat kembali “lingkaran setan”. setelah melihat kembali(re-view) atas besarnya biaya yang mereka keluarkan dalam menyelesaikan pendidikannya, dan mereka memperoleh pekerjaan yang mereka damba-dambakan, tidakkah mungkin, orientasi pikiran mereka akan tetap terbelenggu suatu balas jasa kepada kedua orang tua yang telah membiayai mereka, dan sebenarnya hal itu bukanlah suatu masalah selama mereka memakai uang halal hasil kerja keras mereka, akan tetapi, mencari jalan singkat untuk menggantikannya lewat budaya korupsi yang sudah menjadi hal lazim di masyarakat. Atau mungkin kesan balas dendam terhadap kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi selama mereka menempuh pendidikan dan dalam mencari sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap mengitari kepala dan hati yang menolak pergi, apa yang tidak dikehendakinya nanti, kembali, uang akan menjadi prioritas yang bisa membutakan mereka dalam menjalankan pekerjaannya, karena mereka juga menyadari -setelah apa yang mereka lalui- keturunan mereka hanya bisa bersekolah tinggi dengan biaya yang juga tinggi. Sekarang berapa biaya yang perlu dikeluarkan untuk seorang anak, hingga anak itu mampu menyelesaikan study S3-nya. Adakah 100juta, 200juta atau lebih????tidak akan adakah suatu rasa tak berterima kasih???ya, ada, dan salah satu caranya adalah meneruskannya pada keturunan selanjutnya, dan selanjutnya, dan selanjutnya…….masih ingatkah, teman bermain sedari kecil, tetap kecil, hanya karena dia berada di suatu keluarga kecil, tanpa mengecilkan hati, mereka juga ber-Hak untuk mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak.

Lingkaran setan

Maka, sebagian kecil dari kaum papa yang lolos dari “lingkaran setan pendidikan kaum papa” akan memasuki “lingkaran setan pendidikan kaum kaya”, dimana prioritas kehidupan mereka menjadi sekedar mencari uang tambahan untuk membiayai keturunannya bersekolah lebih tinggi. Bagaimana dengan masyarakat yang jelas-jelas tak berdaya dan hanya mampu menyelesaikan sekolahnya? mau tak mau, dengan hanya menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, mereka hanya dipercaya untuk berada pada pekerjaan yang tergolong kasar dan rendahan, dengan gaji setara UMR regional, persyaratan untuk mengisi sebuah jabatan penting di pemerintahan pun tidak akan menerima lamaran seorang lulusan SMA saja, walaupun capabilitas dan pengetahuan yang dimilikinya dari pengalaman kerja bertahun-tahun sangatlah layak untuk menduduki jabatan tersebut. Tak ingin khayalan-nya tersangkut di tiang jemuran, mereka masih mencoba bersyukur, anak-anaknya masih bisa makan dan uang kontrakkan rumah masih dapat dicicil.

Disitulah kaum papa berputar pada lingkaran yang tak kunjung menciut oleh bergulirnya waktu. Jabatan-jabatan penting Negara -tentu-nya mereka jugalah yang membuat sistim pendidikan di Indonesia, mereka jugalah yang membuat sekolah-sekolah swasta, perguruan tinggi-perguruan tinggi dengan harga tak terhingga- kembali berputar pada lingkaran yang itu juga, hanya saja semakin membesar, seiring rasa cinta mereka pada harta, jabatan, dan kesenjangan antar kelas dimasyarakat terus membesar.

Alhasil, pendidikan tinggi, universitas-universitas, Sekolah tinggi-sekolah tinggi, hanya milik masyarakat golongan atas, orang-orang berduit. Golongan priyayi, seperti hal-nya jaman kolonialisme, ternyata kita masih berada pada pattern yang sama, hierarchy yang mencintai budaya feodal dan tetap merasa nyaman didalamnya, bahkan disaat kaum papa masih meminta-minta di sisi jalan raya, tidak untuk biaya sekolah, hanya untuk sesuap nasi, menambal hari. Tiada pernahkah mereka, orang–orang yang duduk bersama mendiskusikan pengalokasian dana dari APBN untuk pendidikan, melihat, bahwasanya hanya pendidikan yang terorientasi pada grassroot-lah yang akan membawa bangsa ini ke tingkat lebih baik dari pada mengabadikan kesenjangan dengan segala macam pertimbangan hal lain yang lebih bersifat jangka pendek-hanya seiring masa jabatan yang akan dipegangnya-.

Konsentrasi pendidikan yang tidak terpusat diperkotaan, penempatan guru-guru dengan tingkat kesejahteraan memadai, dengan bangunan dan prasarana yang turut menunjang juga, seperti, perpustakaan, computer, pendidikan keterampilan dan pengasahan bakat yang terpadu secara maksimal di seluruh penjuru negri ini. Dan mereka tidak perlu ikut pusing memikirkan berapa besar biaya yang perlu dikeluarkan, bukankah UUD’45 sudah dengan sangat jelas menyatakan bahwasanya pendidikan itu adalah hak segala bangsa, hak masyarakat yang wajib terakomodir oleh dana yang teralokasi oleh APBN.

Antara realitas dan impian kita

Pendidikan diberikan gratis adalah utopis? mungkin, dengan bunga utang luar negri kita yang harus dibayarkan setiap tahunnya, dan segala macam pertimbangan lain menentukan besar alokasi dana RAPBN. Pendidikan gratis tidak tidak realistis? Tunggu dulu, apa RAPBN kita juga realistis, berapa banyak hal dianggarkan untuk yang tidak perlu menjadi mutlak perlu, komplek peristirahatan para anggota DPR, mobil mewah, rumah berinterior hotel bintang lima yang dibangun ditanah hasil gusuran rakyat yang memilihnya sebagai wakil di DPR, realistiskah disaat kondisi bangsa sedang kritis-kritisnya? khusus untuk pendidikan, sebagai tiang penyangga generasi penerus bangsa, tidak boleh ada kata mimpi siang bolong. Semua pihak harus ikut berperan dalam menjadikan hal yang utopis itu menjadi realistis. Wakil rakyat, rakyat, instansi-instansi pendidikan, lembaga-lembaga independent dari graasroot, yang memang menginginkan kesejahteraan di bangsa dan negaranya sendiri, daripada hanya sibuk memikirkan kekayaan pribadi. Semua memang menginginkan kesejahteraan, tetapi bagaimana Negara, sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengurusi warga-nya dapat secara optimal memberikan apa yang sudah menjadi hak seorang warga Negara?

Bukan dengan mempertanyakan apa yang sudah kita berikan sebagai rakyat, tapi, apa yang sudah mereka-negara, pemerintahan, instansi terkait- pada kita sebagai orang yang telah diberi mandat oleh kita untuk mengurus kita sebagai rakyat, sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya segelintir orang yang sudah merasa nyaman dengan jabatan dan kekayaannya.

No comments:

Post a Comment

u'r mind r ?